Soekarno:
“Fat, kekasihku yang
manis. Kartu pos ini kutuliskan tengah-tengah malam, sepulangku dari jamuan
yang hendak berangkat. Pikiran dan hatiku terbayangkan engkau.”
Fatmawati
“Meski Betawi kota yang
kaya, Bengkulen adalah kota. Janganlah lupakan dan tinggalkan.”
Begitulah bunyi surat
cinta yang dituliskan bung Karno untuk ibu Fatmawati.
Bengkulu merupakan titik awal pertemuan bung Karno dengan ibu Fatmawati yang kemudian menjadi istri ketiga beliau sekaligus ibu negara pertama Indonesia. Bung Karno diasingkan di Bengkulu tahun 1938-1942 setelah sebelumnya diasingan di Ende, Flores. Saat diasingkan di Bengkulu, beliau ditemani istri keduanya, Inggit Ganarsih dan kedua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Sukarti/Kartika serta seorang pembantu bernama Riwu.
Bengkulu merupakan titik awal pertemuan bung Karno dengan ibu Fatmawati yang kemudian menjadi istri ketiga beliau sekaligus ibu negara pertama Indonesia. Bung Karno diasingkan di Bengkulu tahun 1938-1942 setelah sebelumnya diasingan di Ende, Flores. Saat diasingkan di Bengkulu, beliau ditemani istri keduanya, Inggit Ganarsih dan kedua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Sukarti/Kartika serta seorang pembantu bernama Riwu.
Rumah pengasingan bung Karno pertama kali dibangun tahun 1918, sebelum bung Karno diasingkan di Bengkulu. Rumah ini merupakan rumah seorang pedagang keturunan Tionghoa bernama Tjang Tjeng Kwat yang merupakan salah satu penyuplai bahan pokok untuk Belanda. Setelah masa kemerdekaan, bangunan ini pernah dijadikan sebagai markas perjuangan (Markas RRI), rumah tinggal AURI, Stasiun RRI, dan terakhir Kantor Pengurus KNPI Dati I dan II.
(Baca
Juga: Benteng Malborough, Wisata Sejarah Kekinian)
Rumah yang sekarang beralamat di jalan Soekarno-Hartta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu ini dipengaruhi oleh tiga kebudayaan, yaitu Indonesia (Bengkulu), Tiongkok dan Eropa. Rumah ini sudah tiga kali mengalami renovasi, namun tidak mengubah bentuk asli dari rumah tersebut.
Rumah yang sekarang beralamat di jalan Soekarno-Hartta, Kelurahan Anggut Atas, Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu ini dipengaruhi oleh tiga kebudayaan, yaitu Indonesia (Bengkulu), Tiongkok dan Eropa. Rumah ini sudah tiga kali mengalami renovasi, namun tidak mengubah bentuk asli dari rumah tersebut.
Salah satu sudut rumah pengasingan Bung Karno bergaya Eropa |
Di
rumah pengasingan tersebut terdapat ruang kerja bung Karno yang masih terawat dengan
baik. Pada ruangan tersebut terdapat buku-buku yang pernah dibaca bung Karno
selama pengasingannya di Bengkulu. Buku-buku tersebut berjumlah 333 judul buku
berbahasa Inggris, Belanda dan Mandarin. Pada bagian ruang tamu, terdapat kursi
tamu kuno namun kondisinya masih bagus dan juga sepeda ontel yang dahulu
dipakai bung Karno selama di Bengkulu.
Buku-buku Bung Karno |
Sepeda Bung Karno |
Rumah
ini memiliki dua kamar. Satu kamar merupakan kamar tidur bung Karno dan ibu
Inggit dan kamar lainya merupakan kamar dari Ratna Djuami dan Sukarti/Kartika.
Saat tinggal di rumah bung Karno, Fatmawati juga tidur di kamar ini bersama
anak angkat Soekarno dan Inggit Ganarsih ini. Di rumah ini juga terdapat kostum
dari perkumpulan sandiwara monte carlo asuhan bung Karno dan Inggit Ganarsih
beserta para sahabatnya, A.M. Hanafi, Zahari Tani dan Manaf Sofian.
Tempat tidur Bung Karno dan Inggit |
Tempat tidur Ratna Djuami dan Kartika |
Kostum Monte Carlo |
(Baca Juga: JejakPeninggalan Inggris di Bengkulu)
Pada bagian belakang rumah terdapat beranda belakang yang terbuka dengan halaman yang luas. Di sana juga terdapat kamar pembantu, gudang dan sumur tua yang konon jika cuci muka di sumur tersebut dipercaya bisa awet muda.
Sumur tua |
Beranda belakang rumah Bung Karno |
Awal mula kisah cinta bung Karno dan Fatmawati
Saat
diasingkan di Bengkulu, bung Karno kedatangan tamu dari keluarga Hassan Din,
tokoh muhammadiyah asal Curup, kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Hassan Din
membawa serta anak perempuannya yang pada saat itu masih belia bernama
Fatmawati. Inilah yang manjadi awal mula pertemuan bung Karno dan Fatmawati. Dalam
pertemuan ini Hassan Din mengutarakan maksudnya pada bung Karno untuk mengajar
di sekolah Muhammadiyah dan beliau menyetujuinya.
Fatmawati |
Fatmawati
yang juga bersekolah di sekolah tersebut lalu tinggal bersama bung Karno dan
keluarganya di rumah bung Karno. Ia menjadi sahabat Ratna Djuami dan tidur
bersama di kamar yang sama.
Siapa
sangka, bung Karno menaruh hati pada Fatmawati dan hal ini sangat sulit
diterima oleh Inggit. Ibu Inggit sangat marah dan kecewa pada saat bung Karno
mengutarakan niatnya ingin menikahi Fatmawati karena beliau ingin mempunyai
anak dari keturunannya sendiri (bung Karno tidak memiliki anak kandung dari
Inggit). Dengan tegas Inggit mengatakan bahwa ia minta diceraikan karena tidak
ingin dimadu.
Bung Karno dan ibu Inggit Ganarsih |
Begitu
pula dengan Fatmawati, ia tidak ingin dipoligami. Ia baru akan menerima
pinangan bung Karno jika beliau sudah resmi bercerai dengan Fatmawati. Pada
1942 bung Karno resmi bercerai dengan Inggit dan setahun kemudian 1943 beliau
menikah dengan Fatmawati. Dari pernikahannya dengan Fatmawati, bung Karno
memiliki lima orang anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri,
Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri dan Guruh Soekarnoputra.
Fatmawati
menjadi ibu negara pertama Indonesia dan merupakan penjahit bendera pusaka
merah putih yang dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Beliau
adalah seorang istri presiden pertama Indonesia yang melahirkan presiden kelima
Indonesia, yaitu Megawati Soekarnoputri.
Saat
ini rumah pengasingan Bung Karno menjadi salah satu warisan sejarah budaya Bengkulu
di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, karena Bengkulu masuk
dalam wilayah kerja BPCB Jambi bersama dengan provinsi Sumatra Selatan, Jambi
dan Bangka Belitung. Pada tanggal 2 September lalu Blogger Bengkulu mendapatkan
undangan dari Media Center Provinsi Bengkulu untuk berkunjung ke rumah
pengasingan bung Karno ini. Selain berwisata kita juga akan menambah
pengetahuan sejarah saat berkunjung ke rumah pengasingan ini.
Yuk
berwisata sejarah! Kalau bukan kita siapa lagi yang akan mencintai sejarah
bangsa kita?